Tupperware di Ambang Kebangkrutan: Utang Menumpuk dan Persaingan yang Ketat

kebangkrutan Tupperware

Blitar Pos – Kabar mengejutkan datang dari Tupperware, produsen wadah plastik yang telah menjadi ikon rumah tangga selama bertahun-tahun. Diberitakan bahwa perusahaan ini sedang bersiap mengajukan permohonan kebangkrutan. Menurut laporan Reuters, Tupperware berencana meminta perlindungan hukum setelah melanggar ketentuan utangnya dan telah meminta bantuan penasihat hukum serta keuangan.

Perusahaan yang didirikan oleh ahli kimia Earl Tupper 78 tahun lalu ini menghadapi tantangan besar dalam mempertahankan keberlangsungan usahanya. Saham Tupperware telah anjlok tajam, kehilangan sekitar 95 persen dari kapitalisasi pasarnya dalam tiga tahun terakhir.

Penurunan Penjualan dan Dampak Pandemi

Salah satu faktor utama yang memicu masalah ini adalah penurunan penjualan. Menurut laporan dari Fortune, penjualan Tupperware turun sebesar 18 persen menjadi sekitar USD 1,3 miliar pada tahun 2022 dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Penurunan ini terjadi setelah sempat ada lonjakan permintaan selama pandemi Covid-19, di mana masyarakat lebih banyak memasak di rumah dan membutuhkan wadah penyimpanan makanan.

Namun, setelah pandemi, permintaan kembali menurun, dan Tupperware kesulitan mempertahankan konsumen. Neil Saunders, seorang analis ritel, mengatakan bahwa Tupperware gagal terhubung dengan generasi muda, yang menjadi tantangan besar dalam menjaga keberlanjutan bisnis.

Utang Menumpuk

Selain penurunan penjualan, Tupperware juga menghadapi masalah besar berupa utang yang menumpuk. Berdasarkan informasi dari Reuters, perusahaan ini memiliki utang lebih dari USD 700 juta atau sekitar Rp10,85 triliun. Negosiasi yang berkepanjangan antara Tupperware dan kreditor mengenai pengelolaan utang tersebut belum membuahkan hasil, sehingga persiapan untuk kebangkrutan menjadi langkah yang tak terhindarkan.

Laurie Ann Goldman, CEO Tupperware, dalam siaran persnya, menyatakan bahwa kondisi keuangan perusahaan sangat dipengaruhi oleh situasi ekonomi makro yang sulit, yang semakin memperburuk beban utang.

Persaingan yang Ketat dan Inovasi yang Tertinggal

Tupperware juga menghadapi persaingan yang semakin ketat di pasar wadah penyimpanan makanan. Merek-merek baru yang lebih inovatif berhasil menarik perhatian konsumen muda, terutama melalui platform seperti TikTok dan Instagram. Model bisnis Tupperware yang masih mengandalkan penjualan berjenjang atau MLM (multi-level marketing) dinilai sudah ketinggalan zaman di tengah era digital saat ini.

Menurut The Guardian, Tupperware gagal beradaptasi dengan cepat terhadap perubahan gaya hidup dan preferensi konsumen. Neil Saunders menambahkan bahwa Tupperware, yang dulunya dikenal sebagai inovator di bidang alat dapur, telah kehilangan keunggulannya dalam persaingan pasar.

Masalah Manajemen dan Laporan Keuangan

Selain itu, Tupperware juga menghadapi masalah manajemen keuangan. Perusahaan mengakui dalam laporannya kepada Securities and Exchange Commission (SEC) bahwa mereka tidak dapat melaporkan kinerja keuangan kuartalan terbaru sesuai tenggat waktu yang ditetapkan. Mereka juga tidak akan mampu menyelesaikan dan mengajukan laporan tahunan untuk tahun 2023. Kekurangan sumber daya dan keahlian, serta kepergian Chief Financial Officer (CFO) baru-baru ini, semakin memperburuk situasi.

Sejarah Tupperware dan Peran Ikoniknya

Tupperware, merek yang kini menghadapi ancaman kebangkrutan, memiliki sejarah panjang yang dimulai sejak tahun 1946. Earl Tupper, seorang ahli kimia, mendirikan perusahaan ini dengan visi untuk menciptakan wadah penyimpanan makanan yang inovatif dan tahan lama. Salah satu inovasinya yang paling terkenal adalah segel kedap udara pada tutup wadah, yang memungkinkan makanan tetap segar lebih lama.

Meskipun produk pertama Tupperware menarik perhatian, penjualannya sempat mengalami kesulitan karena konsumen belum terbiasa menggunakan plastik sebagai wadah makanan. Namun, perubahan besar terjadi ketika Brownie Wise bergabung dengan perusahaan pada awal 1950-an dan memperkenalkan konsep “Tupperware Party”. Metode ini tidak hanya meningkatkan penjualan secara drastis, tetapi juga memberikan peluang kerja bagi banyak wanita di era pasca-Perang Dunia II.

Kesuksesan Tupperware Party membawa perusahaan ini ke tingkat global. Pada tahun 1960-an, Tupperware telah menjadi merek yang dikenal di banyak negara. Mereka terus meluncurkan produk baru, termasuk wadah microwave dan peralatan dapur lainnya, yang membantu mempertahankan popularitasnya.

Tantangan di Era Digital

Namun, tantangan besar muncul di era digital. Perubahan gaya hidup, munculnya pesaing baru, dan pergeseran preferensi konsumen mulai memengaruhi penjualan Tupperware. Model bisnis tradisional mereka yang bergantung pada penjualan langsung dan acara “party” kehilangan relevansi di tengah pertumbuhan e-commerce dan media sosial.

Walaupun Tupperware mencoba beradaptasi dengan memperkenalkan penjualan online dan strategi pemasaran digital, ancaman kebangkrutan semakin nyata seiring penurunan penjualan yang tajam dan meningkatnya beban utang.

Setelah lebih dari 75 tahun beroperasi, Tupperware kini menghadapi masa depan yang tidak pasti, menandai kemungkinan berakhirnya era ikonik dalam sejarah peralatan rumah tangga.

Direkomendasikan

Tentang Blog: admin 2

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *