Blitar Pos – Para peneliti di Observatorium Waliguan telah berhasil memetakan “kurva karbon dioksida,” yang juga dikenal sebagai “kurva Waliguan,” berdasarkan data pemantauan konsentrasi karbon dioksida yang dikumpulkan selama tiga dekade. Hasil pengamatan dari observatorium ini memberikan kontribusi penting bagi enam laporan evaluasi yang dirilis oleh Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (Intergovernmental Panel on Climate Change/IPCC) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), menurut Zhang Peng, Direktur Jenderal Pusat Observasi Meteorologi di Administrasi Meteorologi China (China Meteorological Administration/CMA).
Kurva karbon dioksida yang dihasilkan dari Observatorium Baseline Waliguan dan Observatorium Mauna Loa di Hawaii, menunjukkan peningkatan konsentrasi karbon dioksida akibat aktivitas manusia yang terus berlanjut. Data tersebut mencerminkan dampak signifikan dari aktivitas manusia terhadap perubahan iklim global. Sayangnya, tren ini terus meningkat selama tiga dekade terakhir. Pada tahun 2022, konsentrasi karbon dioksida di atmosfer tercatat mencapai 419,3 ppm, level tertinggi yang pernah tercatat di observatorium tersebut.
Paolo Laj, kepala Global Atmosphere Watch (GAW) di Organisasi Meteorologi Dunia (WMO), menyatakan bahwa jika negara-negara di dunia tidak segera melakukan langkah signifikan untuk mengurangi emisi karbon dioksida, suhu global dapat meningkat hingga 1,5 derajat Celsius. Ini akan menjadi tantangan besar bagi banyak masyarakat di seluruh dunia. Laj menekankan bahwa sejauh ini, upaya global belum cukup, terutama dari negara-negara maju yang memiliki tanggung jawab lebih besar dalam mengurangi emisi.
**Tantangan Perubahan Iklim**
China telah menunjukkan komitmen yang kuat dalam menangani perubahan iklim, terutama dalam dekade terakhir. Menurut Chao Qingchen, Direktur Pusat Iklim Nasional China, negara ini telah berperan aktif dalam mengurangi emisi karbon dioksida melalui berbagai langkah nyata. Salah satu upaya besar yang dilakukan adalah penyesuaian bauran energi nasional untuk mempercepat transisi ke energi bersih. China saat ini memiliki kapasitas terpasang terbesar di dunia untuk pembangkit tenaga fotovoltaik (surya) dan tenaga bayu (angin).
Observatorium Waliguan merupakan saksi dari perubahan tersebut. Di sekitarnya, terdapat pembangkit listrik fotovoltaik berskala besar yang berfungsi sebagai bagian dari transisi energi bersih di China. Kapasitas listrik terpasang dari energi bersih, termasuk tenaga surya, air, dan angin, telah melampaui 53 juta kilowatt. Kawasan pembangkit listrik ini tidak hanya menghasilkan listrik untuk wilayah lokal, tetapi juga menyalurkan 50 miliar kilowatt-jam listrik ramah lingkungan ke wilayah timur China setiap tahunnya. Dengan demikian, diperkirakan emisi karbon dioksida berkurang lebih dari 70 juta ton setiap tahun.
Menurut Christensen, wilayah Qinghai menjadi pelopor dalam kebijakan energi China, karena lebih dari 90 persen kapasitas listriknya berasal dari sumber energi bersih seperti tenaga surya, angin, dan air. Ini menunjukkan potensi besar China untuk terus memimpin dalam transisi energi global.
Selain itu, Carmichael menegaskan bahwa fokus utama global saat ini haruslah menemukan cara untuk segera mengurangi emisi gas rumah kaca. Banyak negara, termasuk China dan Amerika Serikat, bersama dengan berbagai badan PBB, sedang bekerja keras untuk mencapai netralitas karbon dan emisi nol bersih dalam beberapa dekade mendatang. Namun, langkah-langkah ini perlu dilakukan dengan cepat dan efisien demi menghindari dampak yang lebih besar dari perubahan iklim di masa depan.